Sunan Kalijaga
1. dikeluarkan dari
Kadipaten
Sunan Kalijaga itu aslinya bernama
Raden Said. Putera Adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilakita. Tumenggung Wilakita
seringkali disebut Raden Sahur, walau dia termasuk keturunan Ranggawale yang
beragama Hindu tapi Raden Sahur sendiri sudah masuk agama Islam. Sejak kecil
Raden Said sudah diperkenalkan kepada agama Islam oleh guru agama Kadipaten
Tuban. Tetapi karena melihat keadaan sekitar atau lingkungan yang kontradiksi
dengan kehidupan rakyat jelata maka jiwa Raden Said berontak. Gelora jiwa muda
Raden Said seakan meledak-ledak manakala melihat praktek oknum pejabat
kadipaten Tuban disaat menarik pajak pada penduduk atau rakyat jelata.
Rakyat yang pada waktu itu sudah
sangat menderita dikarenakan adanya musim kemarau panjang, semakin sengsara,
mereka harus membayar pajak yang kadangkala tidak sesuai dengan ketentuan yang
ada. Bahkan jauh dari kemampuan mereka. Seringkali jatah mereka untuk
persediaan menghadapi musim panen berikutnya sudah disita para penarik pajak. Walau
Raden Said putera seorang bangsawan dia lebih menyukai kehidupan bebas, yang
tidak terikat adat istiadat kebangsawanan. Dia gemar bergaul dengan rakyat
jelata atau dengan segala lapisan masyarakat, dari yang paling bawah hingga
yang paling atas. Justru karena pergaulannya yang supel itulah dia banyak
mengetahui seluk beluk kehidupan rakyat Tuban. Niat untuk mengurangi
penderitaan rakyat sudah disampaikan kepada ayahnya. Tapi agaknya ayahnya tak
bisa berbuat banyak. Dia cukup memahaminya pula posisi ayahnya sebagai adipati
bawahan Majapahit. Tapi niatnya itu tidak pernah padam. Jika malam-malam
sebelumnya dia sering berada di dalam kamarnya sembari mengumandangkan
ayat-ayat suci Al-Qur’an maka sekarang dia keluar rumah. Di saat penjaga gudang
Kadipaten tertidur lelap, Raden Said mengambil sebagian hasil bumi yang ditarik
dari rakyat untuk disetorkan ke Majapahit. Bahan makanan itu dibagi-bagikan
kepada rakyat yang sangat membutuhkannya. Hal ini dilakukan tanpa sepengetahuan
mereka.
Tentu saja rakyat yang tak tahu
apa-apa itu menjadi kaget bercampur girang menerima rezeki yang tak
diduga-duga. Walau mereka tak pernah tahu siapa gerangan yang memberikan rezeki
itu karena Raden Said melakukannya dimalam hari secara
sembunyi-sembunyi. Bukan hanya rakyat yang terkejut atas rezeki yang seakan
turun dari langit itu. Penjaga gudang kadipaten juga merasa kaget, hatinya
kebat-kebit karena makin hari barang-barang yang hendak disetorkan ke pusat
kerajaan Majapahit itu semakin berkurang. Ia ingin mengetahui siapakah pencuri
barang hasil bumi di dalam gudang itu. Suatu malam ia sengaja mengintip dari
kejauhan, dari balik sebuah rumah tak jauh dari gudang kadipaten. Dugaannya
benar, ada seseorang yang membuka pintu gudang, hampir tak berkedip
penjaga gudang itu memperhatikan pencuri itu. Dia hampir tak percaya pencuri
itu adalah Raden Said putera junjungannya sendiri. Untuk melaporkannya sendiri kepada
adipati Wilatikta ia tak berani. Kuatir dianggap membuat fitnah. Maka penjaga
gudang itu hanya minta dua orang saksi dari sang adipati untuk memergoki
pencuri yang mengambil hasil bumi rakyat yang tersimpan di gudang. Raden Said
tak pernah menyangka bahwa malam itu perbuatannya bakal ketahuan. Ketika ia
hendak keluar adari gudang sambil membawa bahan-bahan makanan tiga orang
prajurit kadipaten menangkapnya, beserta barang bukti yang dibawanya. Raden
Said dibawa ke hadapan ayahnya. Adipati Wilatikta marah melihat perbuatan
anaknya itu. Raden Said tidak menjawab untuk apakah dia mencuri barang-barang
hasil bumi yang hendak disetorkan ke Majapahit.
Tapi untuk itu Raden Said harus
mendapat hukuman, karena kejahatan mencuri itu baru pertama kali dilakukannya
maka ia hanya mendapat hukuman cambuk dua ratus kali pada tangannya. Kemudian
disekap selama beberapa hari, tak boleh keluar rumah. Jerakah Raden Said atas
hukuman yang sudah diterimanya? Sesudah keluar dari hukuman dia benar-beanr
keluar dari lingkungan istana. Tak pernah pulang sehingga membuat cemas ibu dan
adiknya. Apa yang dilakukan Raden Said selanjutnya? Dia mengenakan topeng
khusus, berpakaian serba hitam dan kemudian merampok harta orang-orang kaya di
kabupaten tuban. Terutama orang kaya yang pelit dan para pejabat yang curang. Harta
hasil rampokan itu diberikannya kepada fakir miskin dan orang-orang yang
menderita lainnya. Tapi ketika perbuatannya itu mencapai titik jenuh ada saja
orang yang bermaksud mencelakakannya.
Ada seorang pemimpin perampok sejati
yang mengetahui aksi Raden Said menjarah harta pejabat kaya, kemudian pemimpin
perampok itu mengenakan pakaian serupa dengan pakaian Raden Said, bahkan juga
mengenakan topeng seperti Raden Said juga. Pada suatu malam Raden Said baru
saja menyelesaikan sholat isya mendengar jerit tangis para penduduk desa
kampunya sedang djarah perampok. Dia segera mendatangi tempat kejadian itu.
Begitu mengetahui kedatangan Raden Said kawanan perampok itu segera berhamburan
melarikan diri. Tinggal pemimpin mereka yang sedang asik memperkosa seorang
gadis cantik. Raden Said mendobrak pintu rumah sigadis yang sedang diperkosa.
Didalam sebuah kamar dia melihat seorang berpakaian seperti dirinya, juga
mengenakan topeng serupa sedang berusaha mengenakan pakaiannya kembaili.
Rupanya dia sudah selesai memperkosa gadis tersebut.
Raden Said berusaha menangkap
perampok itu namun pemimpin perampok itu berhasil melarikan diri. Mendadak
terdenganr suara kentongan dipukul bertalu-talu, penduduk dari kampung lain
berdatangan ke tempat itu. Pada saat itulah si gadis yang baru diperkosa
perampok tadi menangkap erat-erat tangan Raden Said. Raden Said jadi panik dan
kebingungan. Para pemuda dari kampung lain menerobos masuk dengan senjata terhunus.
Raden Said ditangkap dan dibawa ke rumah kepala desa. Kepala desa yang merasa
penasaran mencoba membuka topeng di wajah Raden Said. Begitu mengetahui siapa
orang dibalik topeng itu sang kepada desa menjadi terbungkam. Sama sekali tak
disangkanya bahwa perampok itu adalah putera junjungannya sendiri yaitu Raden
Said. Gegerlah masyarakat pada saat itu, Raden Said dianggap perampok dan
pemerkosa. Si gadis yang diperkosa adalah bukti dan saksi hidup atas kejadian
itu. Sang kepala desa masih berusaha menutup aib junjungannya. Diam-diam ia
membawa Raden Said ke istana kadipaten tuban tanpa sepengetahuan orang.
Tentu saja sang adipati jadi murka.
Raden Said di usir dari wilayah kadipaten tuban. Pergi dari kadipaten tuban
ini! Kau telah mencoreng nama baik keluargamu sendiri, pergi! Jangan kembali
sebelum kau dapat menggetarkan dinding-dinding istana kadipaten tuban ini
dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang sering kau baca di malam hari. Sang adipati
Wilatikta juga sangat terpukul atas kejadian itu. Raden Said yang diharapkan
dapat menggantikan kedudukannya ternyata telah menutup kemungkinan ke arah itu,
sirna sudah segala harapan sang adipati. Hanya ada satu orang yang dapat
mempercayai perbuatan Raden Said, yaitu Dewi Rasawulan, adik Raden Said itu
berjiwa luhur dan sangat tidak mungkin melakukan perbuatan keji. Dewi Rasawulan
yang sangat menyayangi kakaknya itu merasa kasihan tanpa sepengetahuan ayah dan
ibunya dia meninggalkan istana kadipaten tuban untuk mencari Raden Said untuk
diajak pulang.
2. Mencari Guru
Sejati
Kemanakah Raden Said sesudah diusir
dari kadipaten tuban, ternyata ia mengembara tanpa tujuan pasti. Pada akhirnya
dia menetap dihutan Jatiwangi. Selama bertahun-tahun ia menjadi perampok
budiman. Mengapa disebut perampok budiman? Karena hasil rampokkannya itu tak
pernah dimakannya. Seperti dahulu, selalu diberikan kepada fakir miskin. Yang
dirampoknya hanya para hartawan atau orang kaya kikir, tidak menyantuni rakyat
jelata. Dan tidak mau membayar zakat. Di hutan Jatiwangi dia membuang nama
aslinya. Orang menyebutnya dengan Brandal Lokajaya. Pada suatu hari, ada
seorang berjubah putih lewat hutan Jatiwangi. Dari jauh Brandal lokajaya sudah
mengincarnya. Orang itu membawa tongkat yang gagangnya berkilauan.
Terus diawasinya orang tua berjubang
putih itu. Setelah dekat dia hadang langkahnya. Tanpa banyak bicara lagi
direbutnya tongkat itu dari tangan lelaki berjubah putih. Karena tongkat itu
dicabut dengan paksa maka orang berjubah putih itu jatuh tersungkur. Dengan
susah payah orang itu bangun, sepasang matanya mengeluarkan air walau tak ada
suara tangis dari mulutnya. Raden Said pada saat itu sedang mengamati gagang
tongkat yang dipegangnya. Ternyata tongkat itu bukan terbuat dari emas, hanya
gagangnya saja terbuat dari kuningan sehingga berkilauan tertimpa cahaya
matahari, seperti emas. Raden Said heran melihat orang tua itu menangis. Segera
diulurkannya kembali tongkat itu. Jangan menangis, ini tongkatmu kukembalikan. Bukan
tongkat ini yang kutangisi ujar lelaki itu sembari memperlihatkan beberapa
batang rumput ditangannya. Lihatlah ! aku telah berbuat dosa, berbuat
kesia-siaan. Rumput ini tercabut ketika aku jatuh tersungkur tadi.
Hanyam beberapa lembar rumput. Kau
merasa berdosa? Tanya Raden Said heran.
Ya, memang berdosa! Karena kau
mencabutnya tanpa sesuatu keperluan. Andaikata kucabut guna makanan ternak itu
tidak mengapa. Tapi untuk sesuatu kesia-siaan benar-benar suatu dosa jawab
lelaki itu.
Hati Raden Said bergetar atas
jawaban yang mengandung nilai iman itu.
Anak muda sesungguhnya apa yang kau
cari dihutan ini?
Saya menginginkan harta?
Untuk apa?
Saya berikan kepada fakir miskin dan
penduduk yang menderita,.. hem…sungguh mulia hatimu, sayang…caramu
mendapatkannya yang keliru.
Orang tua….apa maksudmu? Boleh aku
bertanya anak muda? Desah orang tua itu. Jika kau mencuci pakaianmu yang kotor
dengan air kencing, apakah tindakanmu itu benar? Sungguh perbuatan bodoh sahut
Raden Said. Hanya menambah kotor dan bau pakaian saja. Lelaki itu tersenyum,
demikianlah amal yang kau lakukan. Kau bersedekah dengan barang yang didapat
secara haram atau mencuri itu sama halnya dengan mencuci pakaian dengan air
kencing.
Raden Said tercekat. Lelaki itu
melanjutkan ucapannya. Allah itu adalah zat yang baik, hanya menerima amal dari
barang yang baik atau halal. Raden Said makin tercengang mendengar keterangan
itu. Rasa malu mulai menghujam lubuk hatinya. Betapa keliru perbuatannya selama
ini. Dipandangnya sekali lagi wajah lelaki tua itu. Agung dan berwibawa namun
mencerminkan pribadi yang welas asih. Dia mulai suka dan tertarik dengan lelaki
tua berjubah putih tersebut. Banyak hal yang terkait dengan usaha mengentaskan
kemiskinan dan penderitaan rakyat pada saat ini. Kau tidak bisa
merubahnya hanya dengan memberi bantuan makan dan uang kepada para penduduk
miskin. Kau harus memperingatkan pada penguasa yang zalim agar mau mengubah
caranya memerintah yang sewenang-wenang, kau juga harus dapat membimbing rakyat
agar dapat meningkatkan taraf kehidupannya. Raden Said semakin terpana, ucapan
seperti itulah yang didambakannya selama ini. Kalau kau tak mau kerja keras dan
hanya ingin beramal dengan cara yang mudah maka ambillah itu. Itu barang halal.
Ambillah sesukamu!
Berkata demikian lelaki itu menunjuk
pada sebatang pohon aren. Seketika itu pohon berubah menjadi emas. Sepasang mata
Raden Said terbelalak. Dia adalah seorang pemuda sakti dan banyak ragam
pengalaman yang telah dikecapnya. Berbagai ilmu yang aneh-aneh telah
dipelajarinya. Dia mengira orang itu mempergunakan ilmu sihir. Kalau benar
orang itu mengeluarkan ilmu sihir ia pasti dapat mengatasinya. Tapi setelah
mengerahkan ilmunya, pohon aren itu tetap berubah menjadi emas. Berarti orang
tua itu tidak menggunakan sihir. Ia benar-benar merasa heran dan penasaran,
ilmu apakah yang telah dipergunakan orang tua itu sehingga mampu merubah pohon menjadi emas. Raden Said terdiam
beberapa saat ditempatnya berdiri. Dia mencoba memanjat pohon aren itu.
Benar-benar berubah jadi emas seluruhnya. Ia ingin mengambil buah aren yang telah
berubah menjadi emas berkilauan itu. Mendadak buah aren itu rontok, berjatuhan
mengenai kepala Raden Said. Pemuda itu jatuh terjerembab ke tanah roboh dan
pingsan.
Ketika sadar, buah aren yang rontok
itu telah berubah menjadi hijau seperti aren-aren yang lainnya. Raden Said
bangkit berdiri, mencari orang tua berjubah putih tadi. Tapi yang dicari nya
sudah tidak ada ditempat. Ucapan orang tua tadi masih terngiang ditelinganya.
Tentang beramal dengan barang haram yang disamakan dengan mencuci pakaian
dengan air kencing. Tentang berbagai hal yang terkait dengan upaya memberantas
kemiskinan. Raden Said mengejar oarang itu. Segenap kemampuan dikerahkannya
untuk berlari cepat akhirnya dia dapat melihat bayangan orang tua itu dari
kejauhan. Sepertinya santai saja orang itu melangkahkan kakinya tapi Raden Said
tak pernah bisa menyusulnya. Jatuh bangun terseok-seok dan berlari lagi,
demikianlah setelah tenaganya habis terkuras dia baru bisa sampai dibelakang
lelaki berjubah putih itu.
Lelaki berjubah putih itu berhenti,
bukan karena kehadiran Raden Said melainkan didepannya terbentang sungai cukup
lebar. Tak ada jembatan dan sungai itu tampaknya sangat dalam dengan apa dia
harus menyeberang. Tunggu……, ucap Raden Said ketika melihat orang tua itu
hendak melangkahkan kakinya lagi.
Sudilah kiranya tuan menerima saya
sebagai murid…..pintanya.
Menjadi muridku? Tanya orang tua itu
sembari menoleh. Mau belajar apa?
Apa saja, asal tuan manerima saya
sebagai murid….
Berat, berat sekali anak muda,
bersediakah engkau menerima syarat-syaratnya?
Saya bersedia….
Lelaki itu kemudian menancapkan
tongkatnya ditepi sungai. Raden Said diperintah menunggui tongkat itu. Tak
boleh beranjak dari tempat itu sebelum orang tua itu kembali menemuinya. Raden Said
bersedia menerima syarat ujian itu. Selanjutnya lelaki itu menyeberangi sungai.
Sepasang mata Raden Said terbelalak heran, lelaki itu berjalan diatas air
bagaikan berjalan di daratan saja. Kakinya tidak basah terkena air, ia semakin
yakin calon gurunya itu adalah seorang lelaki berilmu tinggi, waskita dan
mungkin saja golongan para wali. Setelah lelaki tuan itu hilang dari pandangan
Raden Said, pemuda ini duduk bersila dia teringat suatu kisah ajaib yang
dibacanya didalam Al-Qur’an yaitu kisah Ashabul Kahfi, maka ia segera berdoa
kepada Tuhan supaya ditidurkan seperti para pemuda di goa kahfi ratusan tahun
yang silam.
Doanya dikabulkan. Raden Said
tertidur dalam semedinya selama tiga tahun. Akar dan rerumputan telah merambati
tubuhnya dan hampir menutupi sebagian besar anggota tubuhnya. Setelah tiga
tahun lelaki berjubah putih itu datang menemui Raden Said. Tapi Raden Said tak
bisa dibangunkan. Barulah setelah mengumandangkan adzan pemuda itu membuka
sepasang matanya. Tubuh Raden Said dibersihkan, diberi pakaian baru yang
bersih. Kemudian dibawa ke tuban mengapa dibawa ke tuban? Karena lelaki
berjubah putih itu adalah sunan Bonang. Raden Said kemudian diberi pelajaran
agama sesuai dengan tingkatannya yaitu tingkat para waliyullah. Dikemudian hari
Raden Said terkenal dengan sebutan Sunan Kalijaga.
Kalijaga artinya orang yang menjaga
sungai, karena dia pernah bertapa ditepi sungai. Ada yang mengartikan Sunan
Kalijaga adalah penjaga aliran kepercayaan yang hidup pada masa itu. Dijaga
maksudnya supaya tidak membahayakan umat, melainkan diarahkan kepada ajaran
Islam yang benar. Ada juga yang mengartikan legenda pertemuan Raden Said dengan
Sunan Bonang hanya sekedar simbol saja. Kemanapun Sunan Bonang pergi selalu
membawa tongkat atau pegangan hidup., itu artinya Sunan Bonang selalu membawa
agama, membawa iman sebagai petunjuk jalan kehidupan. Raden Said kemudian
disuruh menunggui tongkat atau agama di tepi sungai. Itu artinya Raden Said
diperintah untuk terjun kedalam kancah masyarakat jawa yang banyak mempunyai
aliran kepercayaan dan masih berpegang pada agama lama yaitu Hindu dan Budha. Sunan
Bonang mampu berjalan diatas air sungai tanpa amblas ke dalam sungai. Bahkan
tidak terkena percikan air sungai. Itu artinya Sunan Bonang dapat bergaul
dengan masyarakat yang berbeda agama tanpa kehilangan identitas agama yang
dianut oleh Sunan Bonang sendiri yaitu Islam.
3. Kerinduan Seorang Ibu
Setelah bertahun-tahun ditinggalkan
kedua anaknya, permaisuri Adipati Wilatikta seperti kehilangan gairah hidup.
Terlebih setelah usah adipati tuban menangkap para perampok yang mengacau
kadipaten tuban membuahkan hasil. Hati ibu Raden Said seketika terguncang. Kebetulan
saat ditangkap oleh prajurit tuban, kepala perampok itu mengenakan
pakaian dan topeng yang persis dengan yang dikenakan oleh Raden Said. Rahasia
yang selama ini tertutup rapat terbongkarlah sudah. Dari pengakuan perampok itu
tahulah adipati tuban bahwa Raden Said tidak bersalah. Ibu Raden Said menangis
sejadi-jadinya. Dia benar-benar telah menyesal mengusir anak yang sangat
disayanginya itu, sang ibu tak pernah tau bahwa anak yang didambakannya itu
bertahun-tahun kemudian sudah kembali ke tuban. Hanya saja tidak langsung ke
istana kadipaten tuban, melainkan ke tempat tinggal Sunan Bonang. Untuk
mengobati kerinduan sang ibu, tidak jarang Raden Said mengerahkan ilmunya yang
tinggi. Yaitu membaca Qur’an jarak jauh lau suaranya dikirim ke istana tuban.
Suara Raden Said yang merdu itu
benar-benar menggetarkan dinding istana kadipaten. Bahkan mengguncangkan
isi hati adipati tuban dan isternya. Tapi Raden Said, masih belum menampakkan
dirinya. Banyak tugas yang masih dikerjakannya. Diantaranya menemukan adiknya
kembali. Pada akhinya, dia kembali bersama adiknya yaitu Dewi Rasawulan. Tak
terkirakan betapa bahagianya adipati tuban dan isterinya menerima kedatangan
putera-puterinya yang sangat dicintainya itu. Karena Raden Said tidak bersedia
menggantikan kedudukan ayahnya akhirnya kedudukan adipati tuban diberikan
kepada cucunya sendiri yaitu putera Dewi Rasawulan dan Empu Supa.
Raden Said meneruskan
pengembaraannya, berdakwah atau menyebarkan agama Islam di jawa tengah hingga
ke jawa barat. Beliau sangat arif dan bijaksana dalam berdakwah sehingga dapat
ditermia dan dianggap sebagai guru suci se tanah jawa. Dalam usia lanjut beliau
memilih Kadilangu sebagai tempat tinggalnya yang terakhir. Hingga sekarang
beliau dimakamkan di Kadilangu, Demak. Semoga amal perjuangan nya diterima di
sisi Allah.
Demikianlah sekilas tentang Sunan Kalijaga, seorang waliyullah sebagai Wali
Songo Wali Songo.
Posting Komentar